Politik "Bermuka Dua"

AKHIR Pekan kemarin, publik disuguhi perang peryataan dua politisi partai besar. Yakni Ramadhan Pohan dan Bambang Soesatyo. Ramadhan menuding Partai Golkar sering menerapkan politik "bermuka dua" terkait dengan sikapnya di setgab koalisi. Karuan saja, Bambang Soesatyo, dari Golkar, menjawab dengan menyatakan sudah jamak jika partai bersikap "mendua" untuk hal-hal tertentu.


Perang pernyataan ini terkait dengan memanasnya kembali kasus Century. Di satu sisi sejumlah politisi menghendaki kasus Century ini diusut tuntas, di sisi lain ada sejumlah politisi yang tidak menginginkan kasus ini digiring ke ranah politik.


Substansi yang pantas dicermati dari perang pernyataan itu sebenarnya adalah bagaimana sebenarnya posisi politisi atau partai dalam berpolitik? Apakah idiom bahwa politik akan menghalalkan segala cara untuk mencapai kemenangan dan kekuasaan? tentu saja tidak demikian. Saat kita berpolitik pun pasti ada aspek etika. Apalagi saat belajar dahulu, ada materi Etika Politik.


Karenanya hal yang pantas dikedepankan dalam perpolitikan nasional adalah bagaimana elit politik ini mampu memberikan contoh yang baik kepada masyarakat. Sikap yang kadang ngalor-ngidul dan cenderung plin plan mungkin akan sulit dipahami masyarakat, meskipun itu menjadi sah-sah saja jika pendekatannya adalah pendekatan politis.


Yang kasat mata adalah perang statement di media oleh dua tokoh ini. Sikap itu jelas kontraproduktif pada imej masyarakat terhadap dunia perpolitikan nasional. Masyarakat akan selalu disuguhi oleh atraksi saling serang secara vulgar di antara elit. Bahkan tidak jarang saling serang ini sudah menjurus kepada persoalan-persoalan pribadi yang semestinya bukan menjadi urusan publik.


Padahal hal yang penting untuk dibangun di negeri ini adalah high politics, yang mengedepankan etika. Bisa saja perbedaan pendapat muncul, namun perlu diatur sedemikian rupa, apakah perbedaan pendapat itu layak disiarkan secara vulgar ataukah cukup menjadi pembicaraan di ruang rapat. Jika semuanya dibuka sedemikian vulgar, yang terjadi adalah kegaduhan politik.


Sudah saatnya negeri ini memiliki elit politik yang tidak jago dalam berpolitik, berdiplomasi, dan bernegosiasi, namun mereka juga dibekali dengan sikap kenegerawanan yang santun dan mengedepankan kepentingan negara dan masyarakat di atas kepentingan pribadi dan golongannya. Jika saja ini sudah dimiliki, maka negeri ini pantas dijadikan kiblat demokrasi di seluruh penjuru dunia.

0 komentar:

Posting Komentar