Diagnosis Modernitis
Diposting oleh
Muhammad Yusuf
| Kamis, 01 September 2011 at 22.49
0
komentar
Labels :
Kelola Pengetahuan,
Kelola Teknologi
Modernitas telah mencabut nilai-nilai lama manusia modern sementara nilai-nilai baru belum dipahami. Lebaran jadi salah satu terapi diagnosis modernitis itu.
Cendekiawan Muslim Jalaluddin Rakhmat mengatakan, modernitis tidak ada dalam kamus kedokteran (atau kamus apapun). Ini hanyalah istilah yang Jalal pergunakan untuk menunjuk sejumlah penyakit (sindrom?) yang terdapat pada manusia modern.
Penyakit-penyakit itu menurutnya, boleh jadi berasal dari biaya ekonomi, sosial, maupun psikologis yang harus dibayar untuk menebus modernitas.
W Arthur Lewis, dalam The Theory of Economic Growth, menyebut beberapa penyakit akibat biaya ekonomi ketika masyarakat mengalami proses modernisasi. Semangat ekonomi, akan membawa orang kepada materialisme.
Pertumbuhan ekonomi -- di samping menumbuhkan individualisme -- juga meruntuhkan struktur sosial yang sudah mapan. Individu disibukkan dengan tanggungjawab terhadap dirinya dan melupakan tanggungjawabnya kepada keluarga, kaum, atau kampung halamannya.
Masyarakat industri memerlukan keterampilan baru yang cocok dengan masyarakat yang berorientasi kepada teknologi. Akibatnya, keterampilan lama menghilang. Sebab, setiap teknologi membawa nilai-nilainya yang khas. Kehadiran teknologi baru juga juga menghilangkan nilai-nilai lama.
Manusia modern tercerabut dari nilai lama, tapi belum memahami nilai-nilai baru. Mereka meninggalkan dunia lama sementara dunia baru belum lahir. Manusia modern menjadi limbung, kehilangan pegangan, dan kebingungan.
Mekanisasi melahirkan 'manusia yang diperbudak jam' (a slave of clock) yang perilakunya diregimentasi, dipecah-pecah dan dilepaskan dari keseluruhan makna. Theodore Roszak menyebutkan gejala ini sebagai otomatisasi kepribadian (automatization of personality).
Lewis Yablonsky menyebut manusia-manusia modern ini sebagai 'robopaths' (yang menjadi judul bukunya sekaligus). Robopath telah kehilangan spontanitas dan kreativitas.
Mereka menjadi mesin yang secara ritual terikat pada kegiatan yang monoton. Pagi hari bangun, mandi, dan makan pagi. Setelah itu, pergi ke kantor untuk mengerjakan pekerjaan yang itu-itu juga.
Sore hari, pulang melakukan hal yang sama--itu-itu juga. Kegiatan itu berulang kembali setiap hari. Mereka, kata Yablonsky, bukan lagi manusia. Pada hakikatnya, mereka robot-robot, yang digerkkan secara massal oleh para pemegang kebijakan -- baik pejabat maupun konglomerat.
Biaya psikologis memang berjalin-berkelindan dengan biaya ekonomis dan juga biaya sosial. Pembangunan yang berjalan cepat telah menyingkirkan sejumlah keterampilan, menghilangkan sejumlah besar lapangan kerja, bahkan telah menggusur rumah dan lingkungan.
Sarana-sarana kehidupan kota -- seperti pasar swalayan dan jalan layang -- tumbuh sejalan dengan kehadiran perkampungan kumuh dan zona-zona kejahatan. Konglomerat bertambah, begitu pula orang melarat.
Untuk sejumlah besar orang, modernisasi telah mengerdilkan manusia di hadapan tank-tank baja birokrasi dan industri. Mereka menjadi tidak berdaya (powerless) dan teralienasi. "Diagnosis modernitis itulah yang coba akan diterapi melalui lebaran," kata Jalal dalam bukunya Islam Aktual. [inilah.com]
Cendekiawan Muslim Jalaluddin Rakhmat mengatakan, modernitis tidak ada dalam kamus kedokteran (atau kamus apapun). Ini hanyalah istilah yang Jalal pergunakan untuk menunjuk sejumlah penyakit (sindrom?) yang terdapat pada manusia modern.
Penyakit-penyakit itu menurutnya, boleh jadi berasal dari biaya ekonomi, sosial, maupun psikologis yang harus dibayar untuk menebus modernitas.
W Arthur Lewis, dalam The Theory of Economic Growth, menyebut beberapa penyakit akibat biaya ekonomi ketika masyarakat mengalami proses modernisasi. Semangat ekonomi, akan membawa orang kepada materialisme.
Pertumbuhan ekonomi -- di samping menumbuhkan individualisme -- juga meruntuhkan struktur sosial yang sudah mapan. Individu disibukkan dengan tanggungjawab terhadap dirinya dan melupakan tanggungjawabnya kepada keluarga, kaum, atau kampung halamannya.
Masyarakat industri memerlukan keterampilan baru yang cocok dengan masyarakat yang berorientasi kepada teknologi. Akibatnya, keterampilan lama menghilang. Sebab, setiap teknologi membawa nilai-nilainya yang khas. Kehadiran teknologi baru juga juga menghilangkan nilai-nilai lama.
Manusia modern tercerabut dari nilai lama, tapi belum memahami nilai-nilai baru. Mereka meninggalkan dunia lama sementara dunia baru belum lahir. Manusia modern menjadi limbung, kehilangan pegangan, dan kebingungan.
Mekanisasi melahirkan 'manusia yang diperbudak jam' (a slave of clock) yang perilakunya diregimentasi, dipecah-pecah dan dilepaskan dari keseluruhan makna. Theodore Roszak menyebutkan gejala ini sebagai otomatisasi kepribadian (automatization of personality).
Lewis Yablonsky menyebut manusia-manusia modern ini sebagai 'robopaths' (yang menjadi judul bukunya sekaligus). Robopath telah kehilangan spontanitas dan kreativitas.
Mereka menjadi mesin yang secara ritual terikat pada kegiatan yang monoton. Pagi hari bangun, mandi, dan makan pagi. Setelah itu, pergi ke kantor untuk mengerjakan pekerjaan yang itu-itu juga.
Sore hari, pulang melakukan hal yang sama--itu-itu juga. Kegiatan itu berulang kembali setiap hari. Mereka, kata Yablonsky, bukan lagi manusia. Pada hakikatnya, mereka robot-robot, yang digerkkan secara massal oleh para pemegang kebijakan -- baik pejabat maupun konglomerat.
Biaya psikologis memang berjalin-berkelindan dengan biaya ekonomis dan juga biaya sosial. Pembangunan yang berjalan cepat telah menyingkirkan sejumlah keterampilan, menghilangkan sejumlah besar lapangan kerja, bahkan telah menggusur rumah dan lingkungan.
Sarana-sarana kehidupan kota -- seperti pasar swalayan dan jalan layang -- tumbuh sejalan dengan kehadiran perkampungan kumuh dan zona-zona kejahatan. Konglomerat bertambah, begitu pula orang melarat.
Untuk sejumlah besar orang, modernisasi telah mengerdilkan manusia di hadapan tank-tank baja birokrasi dan industri. Mereka menjadi tidak berdaya (powerless) dan teralienasi. "Diagnosis modernitis itulah yang coba akan diterapi melalui lebaran," kata Jalal dalam bukunya Islam Aktual. [inilah.com]
Langganan:
Posting Komentar (Atom)