“Memenjarakan” Tuhan
Bulan Ramadhan 1432 H hampir tiba. Seperti tahun-tahun sebelumnya, Ramadan kita sambut dengan semangat suka cita, Marhaban ya Ramadan! terkandung juga semangat perubahan di dalamnya. Berubah dan berbenah ke arah yang lebih baik, seperti pesan puasa itu sendiri
Namun, di samping mengandung semangat optimisme, ada pertanyaan penting yang perlu dikemukakan, berkaitan dengan semangat perubahan itu. Benarkah puasa telah benar-benar mengubah perilaku masyarakat kita?
Bertahun-tahun Ramadan telah kita lewati, namun tetap saja masyarakat kita seperti kita saksikan saat sekarang ini. Tingkat korupsi malah meningkat tinggi, bahkan seolah sudah mendarah daging dalam berbagai sektor masyarakat. Jumlah penduduk miskin tidak malah berkurang. Vandalisme merajalela, main serobot hak orang lain makin membabi-buta, tingkat konsumerisme yang tinggi. Pemakaian narkoba, minuman keras, perselingkuhan, dan perjudian masih tetap jalan. Pertanyaannya adalah apakah ajaran puasa yang salah? Atau kita salah dalam memahami dan menjalankan ibadah puasa?
Secara normatif, puasa selama ini dianggap punya beberapa “kesaktian” dalam memperbaiki perilaku pelakunya. Pertama, puasa adalah jalan untuk pengendalian hawa nafsu. Dalam puasa kita diuji secara ekstern untuk mengendalikan keinginan-keinginan, meskipun keinginan itu sah dan halal. Dengan teori itu, kita diharapkan mampu mengendalikan keinginan-keinginan yang tidak sah: jangan makan makanan haram (babi, bangkai, darah); jangan pula makan makanan yang diperoleh dengan cara haram (mencuri, merampok, korupsi); jangan minum minuman haram (bir, arak, tuak); jangan pula menenggak barang haram (narkotik dan obat-obatan terlarang); jangan mendekati dan berbuat zina (seks pra-nikah, selingkuh)!
Tidak cukup itu saja, puasa juga dianggap sebagai jalan menuju pola hidup zuhud (bersahaja, sederhana). Dalam puasa, kita diajari bagaimana memanfaatkan kepemilikan secara bersahaja; tidak menghambur-hamburkan dan berfoya-foya, meskipun kita sadar itu milik kita, bahkan sesuatu yang berlimpah. Kita makan cuma dua waktu (buka dan sahur, dengan rentang waktu sekitar 14 jam).
Kedua, puasa adalah jalan menuju pola hidup sosial (berbagi empati, berbagi kepedulian, berbagi kelebihan). Dengan merasakan tidak makan dan minum dalam rentang waktu yang cukup panjang, kita diharapkan mampu berempati, betapa sengsaranya saudara-saudara kita yang serba kekurangan. Mereka lapar tapi tidak cukup tersedia makanan. Mereka haus, tapi tidak tersedia minuman. Puasa mengajari kita untuk memperhatikan mereka yang tertindas, fakir-miskin, yang tergilas oleh mesin pembangunan. Maka penuhi hak-hak mereka yang selama ini kamu genggam erat-erat; bukankah dalam kelimpahan hartamu, terkandung hak-hak fakir-miskin.
Ketiga, puasa adalah jalan untuk proses berpikir dan bertindak jernih untuk kepentingan jangka panjang. Dengan bertahan untuk tidak tergoda oleh hal-hal yang menggoda selera sebelum waktunya tiba. Orang yang berpuasa pada dasarnya berlatih sekaligus memperagakan proses bersikap sistematis jangka panjang. Dengan mempertahankan kemurnian puasa melalui kalimat “inni shaimun” (sesungguhnya aku sedang berpuasa) ketika ada pihak-pihak lain yang memprovokasi untuk berbuat tercela, maka sesungguhnya kita telah memperagakan model berpikir jernih jangka panjang.
Keempat, puasa adalah jalan menuju kejujuran dan tanggungjawab. Dalam puasa sejati, kita tidak akan mencuri minum seteguk air pun, meskipun orang lain tidak tahu. Inilah peragaan penting sikap jujur dan rasa tanggungjawab kita. Bahwa jujur dan bertanggungjawab itu tidak tergantung pada pihak-¬pihak lain, melainkan sangat dipengaruhi oleh kesadaran kita sendiri sebagai makhluk yang selalu mendapat perhatian dan pengawasan Tuhan.
Dalam perspektif normatif seperti diuraikan di atas, tentu puasa akan menjadi alat yang sangat ampuh untuk memperbaiki kondisi masyarakat kita yang mayoritas Muslim, dan tentu saja muslim mayoritas itu menjalankan puasa. Tetapi faktanya, tidak seperti itu. Masyarakat kita sangat permisif, juga koruptif. Kejahatan terjadi di mana-mana. Sebutan preman bukan lagi dalam pengertian konvensional, melainkan sudah bergeser pada “preman berdasi”, juga “preman berjubah”. Pertanyaannya, mengapa puasa aktual tidak sama dengan puasa dalam ideal?
Salah satu jawabannya adalah kegagalan kita dalam memaknai pesan Rasulullah Saw berkaitan dengan puasa ini. Dalam pesan khutbahnya menyambut Ramadan, Rasulullah Saw memang memberi motivasi sangat kuat untuk berbuat kebajikan, dengan imbalan-imbalan yang istimewa. Misalnya Rasulullah SAW berpesan, “… Barang siapa melakukan salat fardhu, baginya ganjaran seperti melakukan 70 salat fardhu di bulan lainnya. Barang siapa memperbanyak salawat di bulan ini, Allah akan memberatkan timbangannya pada hari ketika timbangan yang lain ringan. Barang siapa di bulan ini membaca satu ayat Alquran, sama nilainya dengan mengkhatam Alquran pada bulan yang lain.”
Kegagalan dalam menangkap pesan itu adalah ketika kita menganggap hanya pada bulan Ramadan ini saja dianjurkan berbuat kebaikan karena pahalanya berlipat-lipat, dan dilarang menjalankan kejahatan. Sebagai akibat kegagalan memaknai pesan itu kita menjadikan bulan Ramadan sebagai “penjara” Tuhan. Seolah-olah Tuhan itu hanya ada di bulan Ramadan, sehingga kita benar-benar taat pada Tuhan. Kita berbanyak amal kebaikan dan sedapat mungkin meninggalkan keburukan di bulan ini.
Maka kita perhatikan orang berlomba-loma berbuat kebajikan di bulan Ramadan, bahkan zakat maal yang ketentuannya hanya berbunyi dikeluarkan setahun (tanpa menyebut bulan), harus pula dikeluarkan di bulan Ramadan. Masjid menjadi sangat ramai. Masjid-masjid penuh oleh jamaah salat tarawih, sebuah salat malam (tahajjud) yang sangat populer, tapi tidak populer di luar Ramadan. Jumlah peminta-minta di sekitar tempat ibadah meningkat tajam. Bahkan televisi pun sok alim di bulan Ramadan, menyajikan acara-acara yang bernuansa relijius. Sebaliknya, kejahatan sedapat mungkin dihentikan, sampai-sampai lokalisasi pelacuran dan tempat hiburan malam harus tutup khusus di bulan Ramadan.
Tentu, kebiasaan memenjarakan Tuhan pada bulan Ramadan memberi efek domino. Di luar bulan Ramadan, Tuhan pun akhirnya dipenjara pada tempat-tempat suci belaka. Bagaimana tidak disebut “memenjarakan” Tuhan, jika Tuhan hanya “digantung” di pojok masjid atau di mimbar majelis taklim! Sementara di kantor, di pasar, di pabrik, di pusat hiburan, atau di tempat lain, Tuhan dicampakkan.
Artinya, ketika di tempat-tempat suci kita menjadi orang yang sangat santri, yang taat dan alim, tetapi ketika di kantor kita korupsi, di pasar kita melakukan kecurangan, di pusat hiburan kita mengumbar hasrat maksiat, dan di istana kita menjadi otoriter dan menindas. Jadi, meskipun kita percaya kepada Tuhan, tetapi Tuhan tidak kita hiraukan sama sekali di luar tempat dan waktu suci. Di tempat-waktu itu perintahnya kita tendang dan larangannya kita jebol.
Seolah-olah kita adalah sosok manusia yang tidak mengenal Tuhan, sehingga bisa bertindak bebas nilai. Dan sebaliknya, ketika kita berada di tempat-waktu suci, kita berlagak sangat akrab dengan Tuhan. Berkerudung, berpeci, memisahkan jarak dengan wanita dan pria (berhijab), khusyuk, tidak (berani) mengorupsi dana masjid, tidak mabuk-mabukan di masjid (mana ada orang mabuk di masjid?), dan sebagainya.
Memenjarakan Tuhan sama artinya dengan membatasi wilayah kekuasaan Tuhan, bahwa Tuhan hanya berhak mengatur kita di tempat-tempat sakral dan tidak berhak mengatur kita di tempat-tempat profan. Tuhan yang kekuasaannya mutlak hanya kita batasi pada wilayah kekuasaan spiritual. Sementara soal-soal dunia (bekerja dan bergaul) wilayah kekuasaannya kita kangkangi sendiri. Wallahu ‘alam.