Merencanakan dan Melaksanakan Pendidikan Berkarakter


Artikel ini disusun sebagai refleksi kegiatan menyampaikan materi dalam pelatihan guru tentang “Bagaimana mengembangkan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) pendidikan karakter direncanakan dan dilaksanakan?” agar pendidikan karakter terlaksana efektif. Untuk memenuhi harapan itu, saya menggugah peserta pelatihan dengan pertanyaan “Sekolah ini berkehendak memfasilitasi siswa memiliki  karakter seperti apa?”
Menjawab pertanyaan itu, para guru menyatakan bahwa sekolahnya diharapkan dapat menghasilkan lulusan yang beriman, bertaqwa, berahlak mulia, jujur, sabar, percaya diri…..dan banyak lagi.
Pertanyaan dilanjutkan, apakah hal itu telah ditulis dalam rencana kerja sekolah atau dalam dokumen satu KTSP sebagai sasaran program pembinaan karakater siswa? Menjawab pertanyaan ini teman-teman tersenyum sebelum menyatakan “belum”. Jadi pada hari itu, di kesadari bahwa sekolah telah menugaskan kepada guru-guru untuk meningkatkan mutu pendidikan berkarakter, namun sekolah belum memasukkan program pengembangan karakter secara tertulis baik dalam program tahunan maupun dalam dokumen satu KTSP.
Karakter seperti apa yang sekolah harapkan?
Pendidikan karakter melekat kewajiban sekolah sebagai sistem. Pada sistem ini terdapat tugas lembaga, kepala sekolah, guru-guru, dan siswa. Pada semua komponen itu tugas itu dibebankan.
Sekolah, dalam hal ini menjadi tanggung jawab kepala sekolah memiliki kewajiban untuk menetapkan kebijakan sekolah tentang karakter yang disepakati sebagai target yang hendak sekolah wujudkan. Misalnya, sekolah berkehendak agar lulusan sekolahnya memiliki karakter enam karakter utama, yaitu (1) berahlak mulia, (2) berisiplin (3)  bersikap terbuka, (4) memiliki kesadaran sosial yang tinggi (5) ramah (6) memiliki stabilitas emosi yang tinggi (7) selalu ingin tahu (8) penuh percaya diri.
Sungguh, semua karakter tersebut dalam kehidupan nyata di sekolah mudah kita kenali, mudah kita lihat. Lebih dari itu, pada guru bisa mengenali siswa mana saja yang memiliki karakter seperti itu. Namun ketika langkah pengenalan atau identifikasi dan menuliskannya secara sistematis, maka proses itu bukan langkah mudah. Namun demikian, karena guru memerlukan indikator yang spesifik sebagai bahan perumusan indikator belajar, maka mau tak mau sekolah perlu menganalisis setiap karakter ke dalam indikator yang terukur, teramati dalam prilaku, dan dapat dikembangkan secara bertahap sampai pada akhirnya semua indikator itu melekat menjadi karakter kompleks pada penampilan pribadi siswa.
Indikator yang sekolah tetapkan secara sistematis sebenarnya menjadi target yang hendak sekolah wujudkan, namun karena prosesnya dilakukan secara bertahap, maka target harus diurai dalam banyak indikator yang akan menjadi dasar menyusun program pembelajaran. Indikator ahlak mulia, misalnya,  dapat dikembangkan dalam prilaku seperti di bawah ini.
  • Kebersihan diri : bersih kuku, bersih tangan, bersih badan, bersih pakaian, dsb.
  • Sehat sosial : ramah, menghargai orang, menghargai pendapat yang berbeda
  • Ramah lingkungan; partisipatif dalam membangun kebersihan kelas, berdisiplin dalam ngelola sampah dan seterusnya …..semuanya sekolah yang menentukan.
Beberapa contoh di atas tentu harus menjadi produk kesepakatan antara kepala sekolah dengan dewan pendidik, ditulis dalam dokumen program, dan dilaksanakan, dan dievaluasi pencapainnya.
Bagaimana karakter terbentuk?
Pendidikan karakter akan berhasil efektif jika didukung dengan tujuan yang dirumuskan dengan jelas, target yang terukur, pelaksanaan yang terpantau efektivitasnya, dan evaluasi yang terlaksana secara berkala dan berkelanjutan sehingga menghasilkan data perkembangan karakter siswa.
Pengembangan karakter siswa hendaknya tidak dipandang sebagai sesuatu yang terpisah dari pengembangan ilmu pengetahuan dan keterampilan. Semuanya harus terintegrasi sebagai proses perkembangan mental yang tidak terlepas dari pembawaan seseorang dengan pengaruh dari lingkungan.
Proses belajar dapat digambarkan dalam diagram seperti di bawah ini.
Pada diagram di atas kebijakan atau kearifan seseorang terbangun melalui kegiatan belajar mengelola data, inoformasi, dan ilmu pengetahuan. Karakter seseorang sebagai produk kearifan diperoleh melalui kegiatan meneliti, menyerap, mengerjakan, berinteraksi, dan melakukan refleksi sebagai proses belajar. Kearifan merupakan produk yang terintegrasi pada kemampuan siswa memahami mater pelajaran pada bagian-bagian, menghubungkan antara bagian sehingga membangun ilmu secara menyeluruh yang melekat menjadi sikap mental yang menjadi ciri khas pribadi.
Selama hidup pengalamannya berkembang dan menghasilkan pembaharuan mental. Semakin tinggi ilmunya tentang kebajikan, makin  giat belajar, maka makin bertambah baiklah dirinya. Jika ada orang yang pandai, namun kelakuannya tidak baik, maka dipastikan ia tidak memiliki disiplin dan kepatuhan pada ilmu yang telah dimilikinya.
Itulah sebabnya kepelikan menguasai ilmu masih harus ditindaklanjuti dengan pembiasaan untuk menerapkannya. Kadang-kadang pembiasaan itu harus berproses dalam bentuk tekanan dan paksaan. Setelah melekat menjadi kebiasaan, kepatuhan itu akan melekat menjadi karakter.
Seseorang menguasai ilmu beribadah, belum tentu ilmu itu menjadi karakter hidupnya, jika tidak disertai dengan keyakinan atas kebenaran ilmu yang dimilikinya dan memiliki kepatuhan untuk menerapkannya. Oleh karena itu menanamkan karakter berarti memerlukan ilmu pengetahuan dan kepatuhan menerapkannya sebagai pedoman berprilaku.
Bagaimana merencanakan pendidikan karakter?
Merumuskan  bentuk karakter yang diharapkan merupakan fokus utama perencanaan. Indikator yang diharapkan perlu dideskripsikan dalam program sekolah. Langkah berikutnya adalah menentukan strategi untuk mewujudkannya.
Dengan adanya rumusan yang jelas pada tingkat sekolah akan memperjelas tugas kepala sekolah, guru, hingga siswa. Terdapat contoh yang menarik ketika satu sekolah menetapkan sholat duha menjadi salah satu kewajiban yang harus siswa lakukan dalam meningkatkan pembiasaan. Pada saat  kegiatan dilakukan hanya siswa yang dianjurkan, guru-guru tidak melakukannya.
Pada kasus lain, sering terjadi sekolah meningkatkan disiplin siswa, mengawasi siswa untuk patuh pada aturan. Sekolah berusaha untuk meningkatkan kebiasaan membaca dan menulis. Berusaha meningkatkan kebiasaan tepat waktu. Hal-hal semacam ini sering terkendala dengan kesulitan sekolah meningkatkan komitmen guru mematuhi  aturan sekolah sehingga dapat menjadi teladan para siswa.
Menegakkan kepatuhan guru dan siswa terhadap aturan yang ditetakan bersama memerlukan sistem kontrol yang baik. Di SMAN 4 Denpasar, dalam setiap usaha pengembangan karakter dibicarakan terlebih dahulu dalam forum guru  dan dalam forum organisasi siswa secara terpisah. Setelah semua pihak mendapat informasi yang jelas tentang kegiatan, tujuan, target, strategi pelaksanaan, dan evaluasi keterlaksanaan maka suatu program dapat dimulai.
Kegiatan selanjutnya guru-guru memantau perkebangan siswa. Sebaliknya siswa melakukan hal yang sama, menilai dukungan guru. Jika ada hal yang belum memenuhi harapan mereka, maka para siswa melakukan pertemuan berkala dengan pimpinan manajemen sekolah untuk menyampaikan hasil evaluasinya.
Dalam forum kerja pendidik dibahas keunggulan, kelemahan,  serta hasil analisis kinerja guru menurut para siswa. Sebaliknya dalam forum siswa dibahas pula kinerja siswa menurut pandangan para guru dan menurut mereka sendiri. Dalam forum ini mereka jaga betul agar para siswa tetap dapat menempatkan penghormatan kepada guru sebagai sasaran pendidikan yang utama. Oleh karena itu pembahasan kinerja tidak diarahkan pada pembahasan kelemahan orang per orang melainkan kondisi yang belum memenuhi harapan.
Model yang berbeda diterapkan di SMA Taruna Nusantara. Karakter dikembangkan  melalui pembinaan kepatuhan pada tata tertib yang diawasi secara ketat oleh pihak sekolah. Kebiasaan-kebiasaan penting diatur secara rinci dalam tata tertib sekolah. Mulai dari bangun pagi hingga tidur malam ada di bawah pengawasan sekolah.
Tanggung jawab mengurus diri, mengelola pakaian, mengenakan pakaian, berjalan, dan berinteraksi mendapat pengawasan dari waktu ke waktu sehingga sekolah yakin bahwa karakter siswa terbentuk dan memenuhi kriteria calon pemimpin bangsa.
Contoh itu menunjukkan bahwa pembentukan karakter melalui peningkatan peran sekolah terutama dalam membentuk kepatuhan dan budaya tertentu di sekolah memegang kendali utama. Sekolah yang kurang memperhatikan sistem pembinaan pada tingkat sekolah dan lebih mengandalkan pada peran guru melalui  pelaksanaan pembelajaran hanya akan menghasilan karakter siswa yang biasa-biasa saja.
Pembentukan Karakter dalam Kegiatan Pembelajaran
Pembentukan karakter melalui kegiatan pembelajaran perlu dimulai dari perencanaan pelaksanaan pembelajaran (RPP). Lebih spesifik karakter yang hendak dikembangkan dapat dinyatakan secara eksplisit dalam tujuan pebelajaran.
Jika bentuk karakter dinyatakan secara eksplisit dalam tujuan, maka guru harus mengevaluasinya secara eksplisit pula. Oleh karena itu, dalam setiap kegiatan pembelajaran guru perlu menetapkan karakter yang sesuai dengan mater pelajaran dan strategi pembelajaran.
Namun demikian jika karakter yang hendak dikembangkan seperti kejujuran, disiplin waktu, sifat selalu ingin tahu, sikap percaya diri, keterbukaan, inovatif, kreatif dapat diintegrasikan dalam aktivitas pembelajaran sehari-hari pada tiap saat. Yang diperlukan adalah kesadaran guru untuk selalu menaruh perhatian terhadap karakter yang ingin dikuatkan pada saat pemebeljaran berlangsung.
Pernyatan  menegaskan bahwa belajar bukan cuma mendapatkan ilmu pengetahuan, namun juga bagaimana dapat menerapkan ilmu pengetahuan itu dalam bentuk karya  yang mencerminkan keterampilan dan meningkatkan sikap yang semakin mencerminkan kedewasaan hidup seseorang.

0 komentar:

Posting Komentar